Awal Dari Kenakalan Berujung Bermain Seks

Awal Dari Kenakalan Berujung Bermain Seks



Orang bilang aku ini seorang pemuda yang tidak tahu aturan. Tapi sebenarnya tidak, aku cuma ingin mengembangkan diriku sendiri. Pada waktu itu aku punya teman kampung yang sebaya denganku, dia sekolah di SMA swasta. Dalam berteman kami sangat cocok dan sering melakukan sesuatu bersama. Kami tidak berpikir lama untuk melakukan sesuatu yang ekstrim, menantang atau bahkan melanggar aturan atau hukum.

Ya benar, mulai dari naik gunung, panjat tebing, melancong ke luar pulau, memancing di laut, sampai yang ini; kebut-kebutan, judi, pengguna dan pengedar ganja, mabuk-mabukan atau bahkan yang ini; mengutil di plaza, mencuri dan banyak lagi. Singkatnya kami ini adalah persekongkolan. Namun ulah kami yang satu ini adalah yang paling berkesan bagi kami walaupun kami sama sekali tidak menduganya: mengintip.

Aku tinggal di perumahan dengan bangunannya kuno dan besar, ruang-ruangnya yang luas, langit- langitnya yang tinggi dan temboknya yang tebal. Kuno seperti bangunan jaman Belanda. Nah, aku punya tetangga yang bentuk rumahnya sama persis dengan rumahku, rumahku dengan rumah tetanggaku itu menyambung. Meski di tengahnya ada tembok, tapi menyambung di atasnya. Ya, ruangan di atas asbes di bawah genteng, yang ada rangka kayu besar itu di disain los.

Kalau ada seorang yang berada di atas, jelas dia dapat bebas menjelajah dari rumahku ke rumah tetanggaku tanpa di ketahui orang di dalam rumah yang ada di bawah. Tentunya dia harus melakukannya dengan tanpa suara. Nah, itulah yang akan aku dan temanku lakukan bersama. Kenapa? karena tetanggaku itu, sebut saja keluarga Erwin, mereka punya dua orang anak perempuan, satu masih TK dan satu lagi SMP kelas dua, sebut saja Melinda. Melinda walaupun masih SMP tapi tubuhnya tinggi seperti ibunya, ramping dan cantik, menurutku. Kami sering menggodanya. Terkadang kalau dia punya PR, aku dan temanku yang mengajarinya, jelas lebih sering aku sendiri. Tapi bukan Melinda yang menjadi sasaran pengintipan kami, melainkan ibunya.

Ya benar, Ibu Erwin ini lebih cantik, wajahnya mirip model Larasati. Umurnya mungkin 32-an, tubuhnya putih mulus, seksi, dan pakaian yang dikenakannya sering tidak lengkap, "ini"-nya yang kelihatanlah, "itu"- nya yang terbukalah, pokoknya benar-benar menggoda. Aku dan temanku sering kepergok mengamati dia kalau dia sedang membersihkan halaman dan dia hanya tersenyum pada kami. Suaminya? oh suami Ibu Erwin kerja di luar pulau dan hanya pulang mungkin 2 kali dalam sebulan, dan beliau sering ke luar negeri untuk waktu yang tidak sebentar.

Akibatnya Pak Erwin selalu memberi pesan padaku supaya aku mengawasi, menjaga atau membantu anak-isteri yang ditinggalkannya. Benar-benar suatu skenario yang baik, pikirku. Pada suatu malam kami naik ke atas, kami mempersiapkan segalanya, obeng, bor kecil, pisau bergerigi, sapu tangan penutup muka dan senter, karena di atas gelap dan berdebu. Kami naik ke atas dan langsung menuju ruang kamar mandi, kira-kira hampir 2 jam kami merekayasa atap asbes yang ternyata bukan terbuat dari asbes, untung kami membawa bor. Bor ini bukan bor listrik tapi sebuah bor manual tangan jadi tidak ada suaranya.

Beres sudah, 2 lubang persegi tepat berada di atas kamar mandi sebesar 5x5 meter yang bisa ditutup telah selesai. Kami pulang dan pada esoknya sekitar pukul 05.00 pagi, kami kembali ke atas dan menunggu Ibu Erwin untuk mandi. Lalu terjadilah, dia masuk sedangkan kami mengamatinya dari atas. Ketika dia mengusap dadanya yang padat dengan sabun, kemudian membersihkan selangkangannya dengan gerakan tangan naik-turun lalu menggosok pantatnya yang seksi, kami benar-benar terangsang. Bu Erwin tidak mungkin untuk menoleh ke atas, karena dengan ukuran kamar mandi yang kecil kalau dia memandang ke depan sudut pandangnya maksimal hanya sampai ke dinding tembok tidak mencapai ke langit-langit yang tinggi. Kecuali kalau ada sesuatu dari atas yang jatuh atau kalau kami lagi sial dan tiba-tiba dia menoleh ke atas, itu resiko kami. Selanjutnya kami pulang untuk bersiap berangkat ke sekolah masing-masing.

Kami mengulangi pengintipan kami saat sore dan pagi sampai selama 5 hari. Berikutnya hari ke-6 kami "habis", kami kepergok. Sore itu, demi Tuhan yang ada di sorga, entah dari mana asalnya tiba-tiba aku bersin, bahkan sampai dua kali. Ibu Erwin menoleh ke atas dan melihat lubang kami, dia menjerit. Dengan cepat kami menutup lubang-lubang tersebut dan langsung turun untuk melarikan diri. Kemudian aku berpikir, hei kenapa melarikan diri? suami Ibu Erwin tidak ada, jadi kenapa takut? Kami nekat mendatangi rumahnya lalu mendapati Ibu Erwin yang masih basah buru-buru hendak keluar dari rumah. Kami bertemu di pintu depan rumahnya. "Ada apa Ibu Erwin kok masih basah?" aku berpura-pura. "Ali, ada orang yang mengintip saya di kamar mandi. Dia ngintip dari atas." Aku dan temanku saling berpandangan. "Haah, jadi kalian yang mengintip saya, kurang ajar."

"Plaak!" Ibu Erwin menamparku. Buru-buru temanku menyela, "Maaf Bu, soalnya Ibu cantik, seksi lagi, kami jadi penasaran, dan sebenarnya ini semua ide Ali, maafkan kami." Sepintas kulihat senyum di bibir Ibu Erwin yang merah. Lalu temanku dengan santai ngeloyor pergi. "Benar Bu, ini tangung jawab saya, maafkan saya, saya, ehh.." Dengan nada rendah, "Sudah Ali, sekarang kamu pergi saja, saya muak melihat kamu." Empat hari berikutnya aku nekat mendatangi Ibu Erwin yang sedang bergurau di teras dengan Melinda. "Melinda, masuk ke kamarmu Ibu mau bicara berdua dengan Kak Ali, ada perlu apa Ali?" Aku tidak merasa takut sedikitpun tapi lidah ini terasa beku dan tak bisa bergerak, tak tahu mau mulai dari mana. Lalu hanya ibu itu yang bicara mengenai apa saja. Aku hanya mendengarkan sambil tersenyum, dan dia membalas senyumanku.

Sepertinya dia sudah melupakan kejadian 4 hari lalu. Kemudian topik pembicaraan beralih menyangkut suaminya. Segera aku menimpali, "Ibu pasti kesepian ditinggal terus oleh suami." Dia memandangku dengan tajam, "Iya!" Lalu Ibu Erwin terdiam lama dan tiba-tiba, "Suami macam dia Ali, pasti punya simpanan lain di sana. Kalau dia pulang saya nggak dapat apa- apa, cuma si kecil dan Melida yang diurusin, saya enggak." "Oooh begitu rupanya," aku menimpali. Gila kesempatanku nih. Lama kami terdiam dan sesekali pandangan kami bertemu dan dia tersenyum padaku lagi. Hari menjelang gelap, tiba-tiba dia memegang tanganku dan berkata,

"Ali, temanmu mana?" "Oh si Soni, saya akan bertemu dengan dia besok siang, kenapa Bu?" "Kalian kan sudah melihat Ibu di kamar mandi, sekarang giliran Ibu harus melihat kalian." Aku tersentak kaget bagai seorang yang baru saja tahu kalau dia kecopetan. "Besok siang kalau kalian sempat, Ibu tunggu di rumah ya, Melinda masuk siang dan baru pulang jam 6 sore." Lalu Ibu Erwin melepaskan genggamannya dan segera masuk ke dalam rumah sambil tersenyum. Dengan perasaan kaget bercampur bingung aku pergi ke rumah Soni dan menceritakan semua apa yang baru saja terjadi. Siang itu pukul 11.00 aku bolos sekolah dan bertemu rahmat yang juga bolos, di warung. "Kita berangkat sekarang Ndre, aku sudah nggak tahan nih." "Boleh, ayo!" Kami langsung menuju rumah Bu Erwin, sepi, tapi pintu tak terkunci, kami berdua langsung masuk dan menguncinya dari dalam. "Eh.. jadi juga kalian datang." Kulihat Ibu Erwin berpakaian rapi. "Ibu Erwin mau kemana?" "Hei, jangan panggil Ibu Erwin, panggil Sasa saja, itu nama saya.

Oh, kalau kalian tadi nggak datang dalam 15 menit saya mau pergi jalan- jalan ke mall dengan si kecil." Dari sini rasa hormat hormatku kepada tetanggaku ini mulai hilang. Aku mulai berubah jahat dan aku mulai bertanya dalam hati, dimana Pak Erwin sekarang? Apa yang beliau pikirkan atau lakukan sekarang? Beliau memberiku kepercayaan tetapi lihat, setan dalam diriku telah menguasaiku 100%. Kalau pun apa yang kami bayangkan tidak terjadi atau Ibu Erwin membohongi kami, kami akan terus maju, kami akan memaksanya. Dan ternyata benar, pikiran jahatku hilang..berubah menjadi panik.

Aku melihat mobil ayahku, yang adalah seorang perwira menengah TNI datang. Dan ayahku membawa serta seorang anak buahnya yang tinggi besar, Provost mungkin, dan mereka menuju kemari ke arah kami. Gawat! "Hei, ternyata Ibu menipu kami, ini lebih menyakitkan dari apa yang kami lakukan terhadap Ibu!" "Ali, saya ingin sifat kamu berubah, kamu sudah tidak kecil lagi.." kami tidak menggubrisnya lagi, kami berlari dan lompat lewat pintu belakang, kabur.

Sempat kudengar ayahku berteriak, "Ali jangan lari, ayah hanya ingin menyiksamu! Kembali kau, pengecut!" Aku mendegar kata terakhir ini. Sambil berlari, aku sedih dan kecewa, seluruh tubuhku ini terasa lemas. Kami lari tanpa tujuan. Sesampai di persimpangan jalan besar, temanku mulai bicara, "Ali, aku sudah tidak punya waktu lagi dengan segala kegilaan kita ini, kejadian barusan sudah cukup bagiku, 4 bulan lagi kita Ebtanas, aku punya rencana panjang setelah aku lulus nanti, aku tidak ingin gagal, aku ingin kita sukses!" Aku terbelalak kaget seperti orang yang menemukan uang 1 juta di jalan. Kami terdiam dan aku hanya memandang ke bawah dan mulai merenung dan berpikir, keras sekali. Tidak kusangka, temanku ini punya semangat baja dan pantang menyerah, semangatku mulai bangkit dan pikiranku terasa bergerak ke satu arah, tobat.

"Thanks Son, aku bangga punya teman seperti kamu, aku tahu sekarang waktunya kita berubah. Masa remaja telah berlalu dan aku juga tidak ingin gagal." "Ali, saatnya telah tiba bagi kita dan.." "Soni, aku setuju denganmu dan sebaiknya kita berpisah sekarang dan kita ketemu saat kita lulus nanti, oke man?" "Oke, boss.." Kami saling pandang lalu seperti ada yang menggerakkan dalam diri kami, sambil tertawa masam kami berangkulan singkat sekali, kami berpisah. Kulihat dia berlari menuju terminal untuk pulang ke rumah. Lalu aku berbalik arah menuju rumah namun tiba-tiba aku berbelok arah menuju warung yang sering aku dan Rahmat datangi. Di warung itu kembali aku merenung dan memikirkan semua yang telah aku lakukan selama SMA, aku melamun, kemudian terdengar suara kecil dari dalam pikiranku dan sepertinya berkata,

"Satu kali lagi, Ali, satu kali lagi Andre, satu kali lagi Ali.." terus berulang-berulang. Aku terbangun dari lamunan, oke kalau begitu. Kemudian, buru-buru aku pulang ke rumah, dan kebetulan ayahku sudah tidak ada di situ lagi, aku langsung masuk masuk ke kamar, mengganti baju lalu mengambil semua simpanan uangku, dan terakhir mengambil semua perlengkapan naik gunungku. Yap, Aku memutuskan akan naik gunung untuk yang terakhir kalinya sendirian. Kemudian, ibuku berusaha untuk mencegahku dan mengatakan kalau ayahku mencariku. "Ibu, katakan pada Ayah kalau aku akan kembali." Ibuku menangis sejadi-jadinya, tetapi aku tetap pergi. Dan sementara aku keluar dari rumah aku berpapasan dengan Ibu Erwin. Dia memegang tanganku, "Ali, kamu mau kemana, apa yang akan kamu lakukan, Ali, jangan minggat, saya.." aku tidak menggubrisnya. Aku pergi menuju terminal, aku cabut. Selama 3 hari aku berjalan mendaki gunung itu sampai ke puncak lalu berjalan turun ke utara.

Satu malam aku terjebak hujan di tengah perjalanan turun. Sepi, tidak ada satu nafas manusia pun kecuali aku. Sekarang aku telah sampai di bawah, terminal bus Ngawi pukul 09.00 malam, hari Minggu. Aku pulang. Sesampai di rumah ternyata ayah dan ibuku telah menunggu. Tanpa sepatah kata mereka merangkulku. Lalu kami semua tidur. Besok paginya aku berangkat ke sekolah, kali ini aku diberi kepercayaan oleh ayahku membawa mobilnya. Sebelum pergi, aku sempat berbicara serius dengan Ibu Erwin dan dia memberiku surat. Dalam perjalanan ke sekolah aku memaksakan untuk membaca surat itu, isinya ternyata sebuah permintaan maaf, pernyataan pribadi terhadapku, dan sebuah perjanjian..yang sangat penting. Tiga bulan berlalu,

aku lulus dari SMA dengan nilai terbaik, mereka bilang kalau aku termasuk dalam 10 besar terbaik tingkat nasional dan aku tidak percaya. Setelah itu aku bertekad untuk melanjutkan karier ayahku, aku sudah puas sekaligus bosan dengan pendidikan formal dan aku tidak akan membuang waktuku percuma hanya untuk kuliah, sekarang waktunya untuk sesuatu yang lain. Aku mendaftar akademi tentara, syukur ternyata aku lolos ujian lokal. Waktu berjalan cepat, tiba saatnya kini aku harus berpisah dengan orang tuaku. Tapi sebelum itu, pada suatu malam pukul 19.00, aku menelepon Ibu Erwin dan dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya pada pukul 22.00. Selama 3 jam aku menunggu di rumah aku benar-benar tidak tahan, serasa 3 tahun lamanya. Waktunya tiba, belum, pada pukul 21.20 aku nekat ke rumah Ibu Erwin, lewat pintu belakang tentunya. Waktu itu kedua putrinya sudah tidur di kamarnya masing-masing, mungkin, harus. Aku langsung menuju kamar Ibu Darwin yang berada di samping belakang rumah. Aku mengetok 2 kali, "Masuk Ali, kami sudah menunggumu." Aku tersentak kaget seperti orang tertimpa tangga dengan tiba-tiba,

"Hah, kamu siapa?" aku membuka pintu kamar itu dengan cepat. Kamar itu terang, jadi aku dapat melihat jelas Ibu Erwin yang tergolek di ranjang, dia memakai daster mini warna hitam, kontras dengan warna kulitnya yang putih. Lekuk-lekuk tubuhnya tergambar jelas ketika dia memiringkan badan sambil menyangga kepala dengan tangannya. Ibu Erwin memang perempuan sejati, dia begitu cantik. Tapi aku begitu kaget untuk yang kedua kalinya ketika melihat pemuda yang berdiri di samping ranjang, Soni! Sambil tertawa aku tersedak, "Soni! Jadi, jadi, perjanjian ini juga berlaku buat kamu?" "Hehehe, benar Ali, tapi kamu tenang saja, aku dan Ibu Erwin belum mulai kok, kami menunggu kamu."





Akhirnya Aku dan Rahmat tertawa bersama. "Eh sst, kalian ini kenapa? Tunggu apa lagi? Saya sudah tidak tahan lagi." "Hehehe.. sama," kami menimpali. Dengan masih berpakaian lengkap aku menerkam Ibu Erwin dan menindihnya. Kulumat habis bibirnya sambil kuremas-remas dadanya yang kecil padat dan dia memelukku dengan erat. Sementara itu Soni dengan pelan menelanjangi dirinya sendiri. Setelah beberapa menit kami bercumbu, Rahmat naik ke ranjang dan mengangkangi Ibu Erwin di kepalanya, lalu Rahmat menyerahkan rudalnya yang baru setengah berdiri itu ke mulut Ibu Erwin dan perempuan itu melahapnya. Aku sendiri langsung menuju bagian bawah pinggang Ibu Erwin, kutarik celana dalamnya dan kujilati pahanya yang empuk, lalu menurun sampai ke pangkal paha. Dari sini aku mencium bau aneh, sembab.

Tapi aku tidak memperdulikannya, aku mengamati belahan daging lembut yang berwarna coklat kemerahan yang sudah basah itu. Aku mulai menciuminya, kusibakkan bulu-bulu halus di sekitarnya lalu kujilati area kewanitaan itu, dan anu-ku sudah tidak terkontrol lagi bentuknya. Beberapa saat kemudian Soni sudah tidak tahan dengan perlakuan Ibu Erwin, perempuan itu benar- benar kuat mengoral Soni selama itu, kini Soni meledak, dia semprotkan seluruh spermanya ke mulut dan wajah Ibu Erwin. "Oh.. oh.. ssh, ayo keluarkan semua Son.. ayo, oh.." Kini wajah Ibu Erwin penuh dengan lelehan sperma Soni, Soni rebah di sisi kiri Ibu Erwin sambil tersenyum. Sementara itu aku masih menjilati vagina Ibu Erwin dengan rakus.

"Eeeh.. mmh, Ali aahk.. ooh.." sambil menjilat kulihat wajah Ibu Erwin sedang dibersihkan dengan selimut oleh Soni. "Soni, kamu jangan kecewakan saya. Buktikan kalau kamu perkasa, ayo bangun lagi ayoo!" sambil tangannya mengocok dan memainkan rudal si Soni. Setelah puas bahkan bosan menjilat, aku merebahkan diri di sisi kanan Ibu Erwin. Tanpa kuperintah Ibu Erwin mengerti maksudku, dia bergerak menuju ke bawah, melepas celana jeansku dan celana dalamku, lalu mengulum dan menhisap benda yang ada di baliknya.

Aku benar- benar melayang seraya tanganku memeras rambutnya. "Aduuh Ibu Erwin, anda hebat sekali ooh." Setelah beberapa saat lamanya kemudian, penisku mulai bertingkah, kurasakan seperti suatu cairan di dalamnya akan segera keluar. Aku terbangun dari posisi rebah, dan berlutut di ranjang. Sementara Ibu Erwin masih menelan dan mongocok penisku dengan mulutnya, lalu kupegang erat kepalanya dengan kedua tanganku sementara Ibu Erwin melingkarkan tangannya di pantatku. Lalu kubenamkan seluruh batang penisku ke mulutnya dan akhirnya.. "Oooh, aduuh uhhs, Ibu Erwiin anda, anda.. hebat.." spermaku keluar bagai air bah, dan membanjiri mulut dan rongga tenggorokan Ibu Erwin. Kulihat Ibu Erwin dengan terpejam menelan semua spermaku tanpa sisa. Membuatku jadi jijik melihatnya. Aku melepaskan cengkeraman tanganku di kepalanya dan kembali rebah di ranjang. Lalu Ibu Erwin pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar itu juga dan membersihkan diri. Waktu itu pukul 23.45.

Begitulah, kami meneruskan pesta kami sampai puas. Kami melakukan semua gerakan, posisi dan teknik dari semua imajinasi kami. Benar-benar tanpa batas. Sampai menjelang pukul 06.00 pagi hari Minggu, ketika 2 putri Ibu Erwin bangun, khususnya si Melinda, kami mengunci diri di kamar tersebut sambil membersihkan diri, mandi. Kira-kira pukul 07.30, paman mereka, adik Pak Erwin datang dan menjemput keduanya, si kecil dan Melinda, tamasya ke luar kota. Hebatnya, ibu mereka tidak ikut serta dengan mereka walaupun dia merasa berat. Ibu Erwin ternyata menepati perjanjiannya dengan kami untuk selama 2 hari melayani nafsu kotor kami. Akhirnya kami melakukannya lagi dimanapun dan kapanpun kami suka. Ibu Erwin benar-benar adalah perempuan yang kuat meskipun tak sekuat kami tentunya. Dia membuktikannya dengan melayani kami secara bergantian dari mulai pagi hingga malam hari. Seperti pada sekitar pukul 13.00, 1 jam seteleh dia senggama dengan Soni dia menuju ke dapur dan makan, lalu mandi. Tepat pada saat itu nafsu birahiku mulai bangkit dan kuputuskan untuk melampiaskannya di kamar mandi. Kuketok pintu kamar mandi, dengan tanpa bertanya pintu langsung dibukanya. Kulihat pemandangan yang indah, Ibu Erwin berdiri dengan kondisi persis seperti Hawa saat dia baru diciptakan, telanjang bulat. "Oh kamu Ali, kenapa? minta lagi? kalian ini memang perkasa, tapi saya masih lelah. Kamu bisa tunggu 1 jam lagi nggak?" "Haa? 1 jam? Nggak, aku maunya sekarang." Lalu kuremas pantat Ibu Erwin dan mulai kusapukan lidahku ke liang peranakannya.

Ibu Erwin hanya bisa mendesah dan mulai bereaksi menyandarkan dirinya ke dinding kamar mandi. "Auuh, ooh, sshaa.. lebih cepat Ali, lebih cepat, ookh.." Aku puas menikmati vagina Ibu Erwin yang masih berbau harum sabun. Lalu sambil berdiri kudorong Ibu Erwin untuk berlutut dan menghisap kemaluanku. Dan Ibu Erwin melayaniku dengan baik, dia menghisap penisku dengan gerakan cepat kelihatan seperti rakus. Setelah hampir setengah jam menghisap, dengan masih menelan penisku tiba- tiba dia berhenti. "Eeemmh, oockh," Ibu Erwin baru saja meminum semua spermaku yang kutembak dalam mulutnya. Kemudian Ibu Erwin membalikkan dirinya membelakangiku, sambil masih berdiri dia membungkuk. Lalu kupeluk dia dan kutelusupkan penisku yang sudah tegang itu dari belakang.

Kami berdua menikmatinya dengan santai. Kami bahkan bercerita dan tertawa sambil aku tetap mengocoknya dari belakang. Dan saat yang paling nikmat tiba, Ibu Erwin mulai merintih tegang dan aku mulai merasakan kontraksi dalam penisku. "Oh oh oh oh, Ali, eehk, eehk, eehk, saya sudah nggak kuat lagi Ali, ssaya habiss.. oohh!" berbarengan dengan itu spermaku kembali keluar. Lalu kami terkulai lemas dan bersandar di dinding sambil berangkulan. Itulah perjanjian kami dengan Ibu Erwin yang ditulisnya di dalam surat 3 bulan lalu. Kini kami semua berpisah. Aku berhasil masuk tes tingkat nasional pendidikan akademi di Jawa Tengah, Soni meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi negeri di Bandung, dan akhirnya Pak Erwin memboyong keluarganya pindah ke Kalimantan. 5 tahun berlalu, kedua orang tuaku pindah ke Sulawesi, aku ditugaskan di Jakarta ketika aku menerima surat dari Soni dan menceritakan bahwa dia akan berangkat ke Jerman untuk semacam pendidikan khusus. Raih cita-citamu setinggi mungkin kawan, semoga sukses.
















Awal Dari Kenakalan Berujung Bermain Seks Awal Dari Kenakalan Berujung Bermain Seks Reviewed by quien on November 17, 2017 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.